HATI-HATI MUSIM PENGHUJAN TELAH TIBA LINDUNGI KELUARGA ANDA DARI PENYAKIT YANG DISEBABKAB OLEH NYAMUK

PANDANGAN PROF. DR. HAMKA TERHADAP PENDIDIKAN TAUHID DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN MODERN

Jumat, 25 Desember 2009


A. Maksud dan Tujuan
Tauhid meskipun merupakan ajaran Islam dan juga merupakan ajaran-ajaran agama sebelum Islam, akan tetapi tahuid sebagai ilmu tidaklah muncul bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri. Ilmu tauhid muncul setelah Islam berkembang luas ke daerah-daerah di luar Jazirah Arab. Adapun pengertian tauhid menurut Syeikh Muhammd Abduh adalah:
Artinya: Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat wajib yang tetap ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya dan sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari pada-Nya. Juga membahas tentang para Rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka, meyakinkan apa yang wajib ada padanya, apa yang boleh dihubungkan (nisbahkan) kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka.

Tauhid juga sering disebut aqidah atau aqo’id yang berarti kepercayaan atau keimanan. Hal ini dikarenakan persoalan yang dijadikan pokok pembicaraan adalah mengenai keimanan dan kepercayaan.
Sejalan dengan bermacam-macam istilah untuk menamakan tauhid, Hamka kadang-kadang menggunakan istilah tauhid dan aqo’id pada kesempatan lain.
Hamka sendiri mengartikan aqo’id adalah kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa termasuk di dalamnya kepercayaan adanya Malaikat, Kitab Suci (wahyu) dan Nabi-Nabi, kepercayaan pada Hari Akhir, kepercyaan pada iradah dan penentuan nasib manusia. Hal ini senada dengan pengertian aqidah menurut Mustafa ALim, yaitu:
Artinya: Wajib mengimani Allah, Malaikat, kitab-kitab dan Rasul-Nya serta iman hari akhir (dibangkitkan mereka setelah mati dan iman terhadap ketentuan baik dan buruk).

Secara etimologi, tauhid menurut Hamka adalah mengesakan Allah (Tuhan), secara terminology adalah mempercayai bahwasannya hanya Dia sendiri yang Maha Kuasa di atas ala mini. Dia yang menyuruh dan Dia yang melarang. Tidak ada bahagia ataupun bencana yang datang kea lam ini kalau tidak dengan izin Tuhan dan segala amal ibadah hanya karena ikhlas kepada Wajh-Nya semata-mata, bukan karena (tipu), bukan karena mengambil muka kepada sesama manusia (riya), bukan karena curang (tadlis) dan bukan karena dapat di luar pancung dan bermuka dua.
Dari penjelasan Hamka tentang tauhid tersebut di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa definisi tauhid tersebut mengandung dua aspek tauhid, yaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah, menyangkut pengertian tauhid secara teoritis dan praktis. Menyangkut tauhid Hamka melibatkan unsur ibadah, dimana terjalin hubungan yang saling mengkait satu sama lainnya. Hal ini sesuai dengan pengertian iman dalam perspektif Islam, dimana iman bukan hanya kepercayaan saja, tetapi juga menyangkut perbuatan atau ibadah. Belief according to Islam, is not only a conviction of the truth of a given proportion, but it is essentially, the acceptance of a proportion as basic for action.(Artinya: Percaya (iman) dalam pandangan Islam, tidak hanya sebagai suatu keyakinan dalam hal-hal kebenaran saja, akan tetapi merupakan penerimaan masalah-masalah (kebenaran) secara esensial sebagai dasar (landasan) untuk berbuat).
Tauhid dalam Islam sebagai landasan pokok bagi ibadah, yang hal ini merupakan manifestasi ajaran tauhid. Dengan demikian tidak ada suatu alampun melainkan karena ajaran tauhid, sebagaimana dikatakan Hamka bahwa:
Aqidah atau iman pada pokoknya terletak pada jiwa. Ditegaskan lagi bahwa iman sejalan dengan amal sholeh. Iman dan amal sholeh tidak dapat dipisahkan. Tidak mungkin hanya beriman pada hal tidak beramal sholeh, dan amal sholeh tidak terjamin kemurniannya jika tidak timbul dari iman.

Jadi yang terpenting adalah ekspresi tauhid dalam bentuk aktivitas-aktivitas yang bertendensi pada ajaran tauhid itu sendiri.
Pendidikan tauhid menurut Dr. Tusran Asmuni adalah pemberian bimbingan kepada anak didik agar ia memiliki jiwa tauhid yang kuat dan mantap, dan memiliki tauhid baik dan benar.
Dari definisi tauhid Hamka yang penulis paparkan, maka yang dimaksud pendidikan tauhid menurut Hamka adalah pemberian bimbingan kepada anak didik agar ia dapat mengesakan Allah sebagai Tuhan serta mampu mengham-bakan diri kepada-Nya serta beribadah kepada-Nya secara benar dan baik.
Selanjutnya menurut Hamka tujuan pendidikan adalah untuk membentuk watak manusia yang lahir di dunia ini supaya menjadi orang yang berguna bagi masyarakatnya, supaya dia tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Dari paparan ini dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan tauhid adalah membentuk watak seorang muslim yang beriman kepada Allah SWT serta mampu meng-implementasikan nilai-nilai keimanan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga mampu menjadi orang yang berguna bagi masyarakatnya.
Berbicara mengenai tujuan pendidikan tauhid, maka tidak akan terlepas dari pendidikan Islam. Maka sudah tentu tujuan pendidikan tauhid akan selalu mengacu pada tujuan pendidikan Islam serta berusaha untuk merealisasikannya. Dimana pendidikan Islam adalah bertujuan untuk menjadikan anak didik untuk bertakwa kepada Allah SWT. Hamba yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya sebagaimana firman Allah:

Artinya: Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku. (Q.S. Adz-Dzariyah: 56)

Secara jelas tujuan pendidikan Islam sesuai dengan yang direkomendasi-kan Konferensi Pendidikan Islam I di Jeddah (1977) yaitu: Menciptakan kepribadian manusia secara total dan memenuhi pertumbuhan dalam segala aspeknya sesuai dengan yang diidamkan dalam Islam.
Dalam Islam terkandung tiga dimensi pokok yang saling mengait dan saling menunjang, serta tidak boleh menekannya satu dimensi saja. Ketiga dimensi pokok tersebut melembaga dalam bentuk aqidah, syariah, ibadah dan mencinta dalam bentuk ilmu, iman dan amal.
Menurut Hamka, mengucapkan syahadat, mengerjakan sembahyang lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, naik haji, untuk mengetahui ini sehingga kita tidak mengerjakan perintah agama dengan membabi buta, kita pelajari fiqih. Iman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Rasul, kepada Kitab-Kitab dan iman kepada Hari Akhir serta iman kepada takdir baik dan buruk mesti terjadi karena ketentuan Allah. Sedang ihsan adalah kunci dari semuanya yaitu bahwa mengabdikan diri kepada Allah dan Allah tetap melihat kita. untuk menyempurnakan ihsan ini kita pelajari ilmu tasawuf. Itulah tali berpikir tiga: Iman, Islam dan Ihsan yang dicapai dengan tiga ilmu yaitu: fiqih, ushuluddin dan tasawuf.

B. Materi
Komponen lain selain tujuan dalam pendidikan adalah bahan pelajaran atau materi pelajaran (subject content). Materi pendidikan dalam arti luas adalah suatu sistem nilai yang merupakan bentuk abstrak dari tujuan pendidikan. Secara khusus, bahan atau materi pendidikan adalah apa yanga harus diberikan dan disosialisasikan serta ditrasformasikan, sehingga menjadi milik peserta didik.
Untuk merealisasikan tujuan pendidikan tauhid, maka perlu adanya seperangkat materi yang perlu diberikan kepada anak didik untuk kemudian diinternalisasikan dalam kehidupan riil anak. Adapun materi tauhid Hamka meliputi: iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul, hari akhir dan iman kepada qadla dan qadar.

1. Iman kepada Allah
a. Dalil adanya Allah
Iman kepada adanya Allah sebagai pencipta alam semesta merupakan pokok ajaran Islam. Keyakinan ini menjadi pondasi bagi tumbuhnya keyakinan malaikat, Rasul, kitab, qadla dan kiamat. Dalam rangka menumbuhkan keyakinan tentang adanya Allah, maka Hamka menggunakan berbagai argumen (dalil). Dalil itu disebut dalil kejadian, dalil peraturan dan dalil gerak. Ketiga dalil tersebut hamper sama dengan dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Rusyd dalam menjelaskan tentang wujud adanya Allah.
Terlepas dari itu semua, maka yang terpenting adalah bahwa Hamka telah berusaha menggerakkan manusia untuk menggunakan potensi daya pikirnya untuk percaya kepada adanya Tuhan. jadi keyakinan tentang adanya Tuhan itu lahir bukan hanya karena tahu (percaya) pada nash-nash Tuhan yang mengharuskan manusia untuk yakin (iman), akan tetapi keyakinan tentang adanya Tuhan telah muncul melalui tahapan berpikir rasional terhadap ciptaan-ciptaan-Nya yang terbentang luas (ayat kauniyah).
1) Dalil Kejadian
Hamka mencoba mengambil gambaran mengenai adanya atau wujudnya benda-benda di dunia untuk membawa pula pada pengertian tentang adanya Tuhan. setiap orang atau bangsa yang berakal, dengan melihat kejadian alam sekelilingnya akan dapatlah ia bertanya siapa yang menjadikan ala mini dan senantiasalah terjawab adanya Tuhan.
2) Dalil Peraturan
Tuhan memberikan peraturan dalam alam dengan dihiasi bintang-bintang dan matahari berjalan menurut aturan tertentu yang dapat menjadikan ilmu yang pasti yaitu hisab. Adanya aturan pemastian dalam pikiran manusia akan adanya peraturan, dan penjaga adanya Tuhan. Dalil yang kedua ini disebut dalil peraturan atau dalil pemeliharaan.
3) Dalil Gerak
Gerak alam dijelaskan oleh Hamka dalam buku Pelajaran Agama Islam sebagai bukti adanya Tuhan. matahari dan planet-planet lainnya tidak pernah jatuh karena adanya gerak super natural Tuhan yang teratur.
Jelaslah dari uraian di muka, Hamka di dalam memberikan penjelasan mengenai adanya Tuhan dengan menggunakan landasan iman sebagai dasar dan filsafat ketuhanan sebagai alat mencari tahu. Hal ini mendorong manusia untuk menggunakan akal untuk kemudian memikirkan, mengkaji, meneliti fenomena alam semesta sebagai bukti adanya Sang Pencipta dan Pengatur, Sang Super Natural Allah.
b. Sifat-sifat Tuhan
Salah satu topic pembicaraan ilmu kalam adalah mengenai sifat-difat Tuhan. konsep pemahaman tentang sifat-sifat Tuhan memberikan konsekuensi logis pada keesaan Tuhan. sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Harun Nasution dalam buku Theologi Islam, bahwa jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu mesti kelak seperti halnya dengan Dzat Tuhan. dan selanjutnya jika sifat-sifat Tuhan itu kekal, maka yang bersifat kekal bukanlah satu tetapi banyak. Hal ini tentunya akan membawa kepada paham polytheisme. Pada hal dalam Islam sudah jelas diterangkan bahwa Islam adalah monotheisme, yaitu “Katakanlah Tuhan itu satu”. Hal inilah yang menimbulkan perbedaan dalam mentakwilkan ayat-ayat al-Quran dalam masalah-masalah sifat Tuhan.
Allah memiliki berbagai sifat yang melengkapi kesempurnaan-Nya. Sifat-sifat itu antara lain: al-Mulk, al-Rahman, al-Kabir dan sebagainya, secara keseluruhan berjumlah 99 macam sifat atau yang sering disebut Asmaul Husna. Allah mengetahui, berkehendak, berkuasa, berkemauan, berpengetahuan, bersabda dan sebagainya. Dalam masalah-masalah sifat Tuhan ini, Hamka menjelaskan dalam buku Filsafat Ketuhanan yang berisi sifat-sifat Allah yang secara harfiah ada kesamaan dengan manusia. Namun dengan tegas beliau mengatakan bahwa sifat-sifat tidaklah sama dengan sifat manusia, misalnya dalam hal Allah melihat, mendengar dan sebagainya. Maka pendengaran dan penglihatan manusia itu tidak sama dengan penglihatan dan pendengaran Allah. Ia berbeda dengan makhluk-Nya. Dalam masalah ini beliau tidak mau mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat, akan tetapi beliau sangat menghargai serta memuji terhadap orang-orang yang mau melakukan usaha ini.
Dengan memiliki pengetahuan, keyakinan tentang sifat-sifat Tuhan maka setiap muslim akan lebih mendekatkan diri kepada-Nya dan berusaha mengadopsi sehingga benar-benar melekat pada setiap diri muslim, membawa manusia pada derajat kesempurnaan yang tertinggi sebagai makhluk-Nya.
c. Perbuatan Tuhan
Menurut Hamka dalam buku Pelajaran Agama Islam bahwa perbuatan Tuhan adalah tidak terbatas, sebab jika dikatakan terbatas maka ini menyalahi dan mengurangi kekuasaan Tuhan. Allah menciptakan bodoh, miskin, kejahatan dan lain-lain, akan tetapi hal ini tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan yang menciptakan. Hal ini dikarenakan untuk ta’abud kepada Allah. Sebab tiada orang beradab mengatakan bahwa Tuhan membuat kejahatan, kemiskinan dan keburukan.
Perbuatan Tuhan dan kekuasaan Tuhan terhadap makhluknya adalah mutlak dan tidak terbatas. Sesuai dengan firman Allah:



Artinya: Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?” Katakanlah: “Sesungguh-nya urusan ini seluruhnya di tangan Allah.”. (Q.S. al-Imran: 154

Kekuasaan mutlak Tuhan atas segala sesuatu menutup kemung-kinan bagi Tuhan untuk diminta pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan oleh-Nya. Tuhan menciptakan kebaikan dan keburukan, tetapi Tuhan tidak bisa dikatakan melakukan keburukan walaupun tidak ada sesuatu kekuatan yang meminta pertanggungjawaban perbuatan Tuhan. hal ini tidak berarti Tuhan itu berbuat sewenang-wenang atas ciptaan dan milik-Nya sebagaimana tindakan seorang raja yang zalim. Sebab keburukan pada dasarnya hanya terlihat dari kaca mata manusia saja, sedangkan segala sesuatu yang terjadi di alam raya adalah berlangsung atas kebijaksanaan dari Tuhan Yang Maha Tinggi.
Termasuk dalam perbuatan Tuhan yaitu perbuatan Tuhan yang tidak membebani manusia di luar batas kemampuannya. Kasusnya dalam kasus berikut ini: peristiwa Isra’ Mi’raj dimana terjadi adanya dispensasi/ kemurahan atas perintah shalat. Sebagaimana firman Allah:



Artinya: Tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupan-nya dan pada sisi kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran dan mereka tiada dianiaya. (Q.S. al-Mukminun: 62).
d. Keadilan Tuhan
Konsep keadilan Tuhan dalam aliran kalam rasional memberikan arti bahwa keadilan Tuhan untuk kepentingan manusia. Sebaliknya secara tradisional mengartikan bahwa kebebasan manusia di tengah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. jadi cenderung memahami keadilan dari sudut Tuhan sebagai pemilik alam.
Keadilan Tuhan menurut Hamka dalam bukunya Tafsir al-Azhar mengandung sifat Rahman dan Rahim Tuhan. Dengan sifat Rahman dan Rahim itu berlaku atas keadilan pula. Dalam pemahaman Hamka, Tuhan melipatgandakan balasan kebaikan dengan sepuluh ganda kebaikan. Bila manusia berbuat baik dalam nilai satu, maka Allah akan menggantikannya dengan sepuluh ganda. Sebaliknya dengan sifat Rahman dan Rahim Tuhan yang juga didasarkan atas keadilan, maka perbuatan jahat nilai satu yang dilakukan oleh seseorang tidaklah dibalas dengan siksaan berganda sepuluh, namun tetap bernilai satu bagi balasan kejahatan. Hal ini dijelaskan oleh sebuah hadits Nabi:

Artinya: Dari Anas, ia berkata: “Saya mendengar Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: Berfirman Allah: “Apabila berkehendak hamba-Ku akan mengamalkan suatu amalan yang jahat maka janganlah kamu tuliskan itu atasnya sebelum ia kerjakan. Maka kalau mereka kerjakan juga, tuliskanlah atasnya seumpamanya. Dan jika ditinggalkannya karena Aku, tuliskanlah buatnya satu kebaikan. Dan jika dia hendak mengerjakan suatu kebaikan, tetapi belum jadi dikerjakan, tulislah juga untuknya satu kebaikan, tetapi jika langsung dikerjakan, tulislah juga untuknya sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. (H.R. Bukhari).

Islam adalah rahmat bagi seluruh alam semesta buat seluruh makhluk-Nya. Sifat Rahman Tuhan meliputi makhluk-Nya dan Rakhim Tuhan khusus untuk orang Islam sebagai ganjaran atas apa yang telah mereka perbuat untuk pengabdian diri pada-Nya. Maka janji Tuhan untuk orang yang dimasukkan ke dalam neraka atau surga adalah sesungguhnya akibat dari jalan yang ditempuh oleh manusia ketika hidup di dunia. Inilah Rahman dan Rahim Tuhan. oleh karena itu manusia dalam hidup ini hendaklah senantiasa memohon petunjuk, taufik dan hidayah-Nya.
2. Iman kepada Nabi (Rasul) dan Wahyu
Manusia hidup dengan memiliki kelebihan-kelebihan daripada makhluk-makhluk lainnya. Kelebihan itu diperoleh karena potensi yang dikaruniakan Tuhan kepadanya berupa akal. Dengan akal, manusia dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi akal manusia memiliki keterbatasan. Dengan keterbatasan itulah maka dengan Rahman dan Rahim Tuhan mengirimkan petunjuk untuk membawa manusia pada jalan kebenaran, karena petunjuk (wahyu) itu ditujukan kepada semua manusia, maka ditunjuk seseorang sebagai mediator wahyu kepada sesama manusia. Manusia tersebut harus memiliki kesiapan fisik dan psikis serta mampu mencapai derajat kesucian yang tinggi untuk menyandang sebagai utusan Tuhan atau sebagai Rasul.
Iman kepada Rasul berarti percaya bahwa Allah telah mengangkat di antara manusia menjadi utusan-utusan Allah melalui tugas risalah mengajak manusia menjadi hamba Allah, dengan wahyu yang diterimanya dari Allah, untuk memimpin manusia ke jalan yang lurus dan untuk keselamatan serta kebahagiaan yang hakiki baik di dunia maupun di akhirat.
Untuk menjelaskan bagaimanakah pemahaman Hamka tentang Rasul dan Kenabian, maka kita melihat dulu pandangan Hamka tentang wahyu sebagai konsekuensi logis percaya pada Rasul. Wahyu menurut Hamka adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi-Nabi. Penerimaan wahyu ini bisa langsung ataupun melalui perantaraan malaikat. Di dengarnya suatu suara ataupun tidak sama sekali, tetapi ia paham apa yang diterimanya itu bahwasannya ia datang dari Tuhan. Dan konsep wahyu yang sudah diterangkan tadi, maka dapat dikatakan bahwa fungsi wahyu menurut Hamka adalah memberikan informasi kepada manusia berkenaan dengan masalah-masalah di luar dan di dalam jangkauan akal. Wahyu berhubungan dengan tuntunan dan kejelasan bahwa Tuhan yang disembah adalah Allah SWT Yang Maha Esa. “Wahyu memimpin manusia bagaimana menempuh hidup yang lurus, sebagaimana ihdinashshiratal mustaqim. Wahyu juga memberikan petunjuk bagi manusia, mana yang baik dan mana yang buruk dengan tuntunan para Nabi. Manusia baru mengetahui bila ia melakukan kebajikan akan diberi pahala dan apabila melakukan kejahatan maka padanya akan diberikan siksaan dan adzab.
Dengan demikian, tidaklah dapat ditolak adanya konsep keadilan Tuhan. dengan kata lain, “Wahyu sebenarnya merupakan pertanda bahwa Tuhan tidak bertindak sewenang-wenang kepada hamban-Nya”. Dengan wahyu yang dibawa oleh Rasul itu pula, manusia dapat mengetahui bagaimana ia dapat mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhannya.
Pengiriman Rasul yang membawa wahyu adalah wajib bagi Allah sebab wahyu Tuhan berbuat menurut kehendak mutlaknya. Dengan wahyu manusia tahu mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram, dan itu semua terintegrasi dan terformulasikan dalam satu bentuk kepribadian secara holistic yang disajikan top model of live/Uswatun Khasanah, yaitu Nabi dan Rasul.
3. Keakhiratan dan Alam Gaib
Keakhiratan erat kaitannya dengan kehidupan setelah mati dari dunia ini. Dalam hal ini Hamka menjelaskan dalam bukunya Pelajaran Agama Islam, bahwa mati bukanlah pupus dan akhir yang habis. Mati hanyalah pengganti sifat hidup dari alam fana kea lam baqa’, dari dunia ke akhirat. Setelah selesai nyawa meninggalkan badan, dia tidak lagi mati. Dia menuju kepada alam yang lebih kekal. Mati kadang disebut liqa’, yaitu permulaan pertemuan dengan Tuhan-Nya.
Setelah mati maka membawa manusia pada alam kubur dan dimulailah kehidupan akhirat. Kubur bukan perhentian rohani, kuur adalah perhentian jasmani. Walaupun manusia terbakar atau tenggelam di dasar lautan, namun semua akan berada pada alam yang sama yaitu alam kubur. Dalam ala mini tidak ada perasaan lagi yang ada dalam rohani, sehingga tidak ada orang berdusta pada waktu itu, karena waktu itu adalah ruh semata-mata.
Jauhar jasmani “Jika manusia sudah mati akan kembali ke tanah, jauhar rohani kembali kepada Tuhan.” Dengan lepasnya jauhar jasmani menuju alam rohani, maka ikatan lebih bebas, suci dan tinggi derajatnya.
Alam raya terbagi menjadi dua macam, yaitu alam syahadah dan alam gaib. Alam syahadah adalah alam yang nyata dan dapat dilihat oleh panca indera yang lima, lalu dibawanya ke dalam pencernaan akal, kemudian ditimbang oleh akal, sedangkan alam gaib adalah alam yang tidak dapat dicapai dengan panca indera, tidak dapat didengar, disentuh, tidak terkecap dan tidak berbau. Termasuk di dalam kepercayaan akan adanya alam gaib adalah kepercayaan akan adanya malaikat-malaikat, iblis, kehidupan akhirat serta kehidupan gaib lainnya. Dalam kehidupan nyata sering juga kita menjumpai sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal (rasional). Sebagaimana pertanyaan tentang ruh atau jiwa, sampai saat ini belum ada suatu definisi yang bisa dengan tepat mewakilinya. Demikian pula Hamka dalam memberikan ilustrasi tentang alam gaib dalam realita empiric sehari-hari dengan memberikan satu pertanyaan “Siapa manusia itu?”.
Hamka dalam menjelaskan tentang akhirat dan alam gaib berusaha membawa alam pikir manusia dengan menggunakan rasio atau akal untuk menerimanya, berdasarkan pada realita empiric yang ada dalam kehidupan, bahwa tidak selamanya sesuatu dapat dirasionalisasikan. Beliau juga menggunakan sumber ajaran Islam yaitu al-Quran dan al-Hadits sebagai landasan berpikir.
4. Qada’ dan Qadar
Rukun iman yang keenam adalah kepercayaan pada takdir atau percaya pada qadla dan qadar. Segala sesuatu yang terjadi dalam ala mini atau terjadi pada diri manusia, semuanya terjadi menurut kehendak Tuhan (takdir Allah). Masalah yang muncul dalam konteks pendidikan tauhid ini adalah bagaimana memberikan pengertian serta makna qada’ dan qadar pada peserta didik, sehingga tertanam suatu sikap serta pemahaman yang benar terhadap pengertian qadla’ dan qadar tersebut.
Dalam hal ini, Hamka menjelaskan dalam bukunya Pelajaran Agama Islam bahwa kepercayaan kepada takdir bisa lewat pemikiran sebab akibat. Dimana hukum sebab akibat apabila kita teruskan pada puncak pemikiran sebab akibat, maka akan bertemu pada sebab atau dalam istilah lain Musab-bihul Asbab. Bila sampai musabbihul asbab maka akan bertemu dengan qadrat dan iradat-Nya. Qadrat dan iradat Ilahi yang menguasai seluruh makhluk, dimana seluruh kekuasaan ada di tangan-Nya. Sebagaimana firman Allah:

Artinya: Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.(al-Baqarah: 20).
Manusia adalah bagian dari alam yang tunduk pada qadrat dan iradat-Nya. Manusia selain memiliki kebebasan juga memiliki keterbatasan, yakni keterbatasan ruang dan waktu.
Kebebasan manusia dikarenakan manusia memiliki potensi yang lebih dari apa yang dimiliki oleh makhluk lain, yaitu potensi akal. Potensi akal itu yang dapat membawa manusia pada maksud qadrat dan iradat¬nya. Namun bagaimanapun akal manusia memiliki keterbatasan. Oleh karena itu harus tunduk pada kekuasaan sunnah-Nya. Pada tahap selanjutnya manusia harus menundukkan diri pada iradat-Nya yang paling tinggi. Hal inilah yang disebut tawakkal.
Dalam al-Quran banyak sekali kita jumpai ayat-ayat yang menerangkan tentang qada’ dan qadar Tuhan, di samping ayat-ayat tentang kekuasaan dan kebebasan manusia dalam berikhtiar. Sepintas hal ini sangatlah bertentangan. Ayat-ayat takdir dan ikhtiah tidaklah bertentangan melainkan bergabung menjadi satu, untuk mendorong kita umat manusia supaya menggunakan akal dan budinya, daya dan upayanya untuk menyelesaikan tugas hidup yang diberikan kepada manusia.
Takdir sebagaimana penulis katakana di muka, adalah merupakan suatu proses. Oleh karena itu takdir harus dikejar dan bukan sebaliknya kita lari dari takdir. Sikap ini akan menimbulkan sikap optimis.
Dengan demikian tidak ada kaum fatalisme, pesimisme, sebab dampak kepercayaan kepada takdir yang benar akan menumbuhkan keseimbangan kepada fisik dan non fisik, serta sikap hidup yang siap menerima suatu kenyataan bagaimanapun pahitnya. Sebaliknya, apabila suatu kesuksesan diperoleh maka tidaklah akan membawa pada sikap takabur dan lupa diri. Sikap senantiasa tawakal, dibarengi rasa optimis ini akan melenyapkan rasa keraguan, membuat selalu dekat dengan Tuhan, karena di mata manusia, kemampuan mata memandang yang dilihat adalah Keadilan dan Krahiman Tuhan.
Bila analisis kita berika, maka konsep percaya atau iman kepada qada’ dan qadar Tuhan sebagaimana yang Hamka tawarkan sangat mendorong dan memberikan gerak dinamis bagi umat, sehingga umat akan senantiasa aktif dan kreatif dalam menjalani tugas yang diembankan kepadanya. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam serta relevan pula dengan prinsip-prinsip dasar alam pendidikan modern, dimana subyek didik atau pelajar mempunyai peranan yang lebih aktif.

C. Metode
Materi-materi keimanan Islam harus benar-benar tertanam dalam diri anak didik sejak sedini mungkin, sehingga potensi keagamaan akan dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan dapat menghasilkan suatu pandangan sikap hidup yang bertendensi pada nilai-nilai religi. Dengan kata lain menciptakan insan yang hidup di bumi tetapi berorientasi ke langit (atas). Sebaliknya bila potensi keagamaan ini dibiarkan begitu saja tidak dipupuk, maka tidaklah mustahil akan timbul sikap atheis. Hal ini sesuai dengan konsep Islam bahwasannya iman itu bisa bertambah dan berkurang tergantung pada pemeliharaannya. Sebagaimana firman Allah:


Artinya: ... supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada) dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. (Q.S. al-Fath:4).

Proses pendidikan tauhid apabila kita kaji, maka dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: tahap pembiasaan, tahap pembentukan pengertian dan tahap pembentukan budi luhur. Ketiga tahapan pendidikan tersebut diberikan kepada anak didik sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan mereka. Oleh karena itu salah satu perangkat pendidikan yang harus diperhatikan oleh si pendidik dalam penanaman tauhid ini adalah metode. Maka seorang guru harus mengenal agar dapat menggunakan dengan variasinya, sehingga guru mampu menumbuh-kan proses belajar yang berhasil guna dan berdaya guna secara efektif dan efisien.
Menurut Hamka, secara global maka pendidikan tauhid dapat dijalankan dengan menggunakan berbagai metode. Salah satunya yaitu metode yang diajarkan dalam al-Quran yaitu metode hikmah, yaitu terhadap orang yang belum tahu, dan ada pula dengan mau’idah terhadap orang yang telah tahu tetapi lalai. Dan ada pula metode mujadalah, artinya bertukar pikiran terhadap orang yang menyangka bahwa pendiriannya benar pada hal asalah. . sebagaimana tertulis dalam surat al-Nahl: 125:



Artinya: Serulah (manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu (Dialah) yang lebih mengetahui siapa yang tersebut dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. al-Nahl: 125).

Metode Islami atau Qurani, hikmah dan mau’idah hasanah serta mujadalah yang dikemukakan oleh Hamka menuntut kepada para pendidik untuk berorientasi pada kebutuhan pendidikan anak didik, dimana faktor Hukum Nature yang potensial tiap pribadi individu dijasikan focus dalam proses pendidikan sampai kepada batas maksimal, sehingga anak didik akan memperoleh perkembangan yang optimal.
Metode yang dikemukakan oleh Hamka adalah metode amar ma’ruf nahi munkar. Untuk itu dapat melihat dari kutipan berikut kalau sudah memper-gunakan amar ma’ruf nahi munkar, “Menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat jahat serta tulus hati pula dalam memperjuangkannya akan tertariklah manusia ke dalam kebenaran dan sentausalah pergaulan hidup.”
Metode observasipun Hamka gunakan dalam rangka memberikan penjelasan serta pemahaman tauhid kepada anak .“UNtuk mengenal Tuhan diikhtiarkan dan diusahakan menurut keyakinan dan kesanggupan masing-masing, misalnya dengan menilik alam, memperbanyak ilmu dan mengkaji sifat-sifat Tuhan.” Dengan mengenal terhadap sifat-sifat Tuhan pada anak didik, maka akan dapat menumbuhkan serta memudahkan anak untuk menerima pemikiran tentang Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sehingga perlulah jika dikemukakan kepada anak sifat-sifat Tuhan yang baik, Pengasih, Penyayang dan lain-lain yang mendorong anak pada rasa aman.
Dari beberapa keterangan tersebut di muka maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa metode pendidikan tauhid yang beliau gunakan selain bersumber pada al-Quran dan al-Hadits, juga masih relevan dengan pendidikan moden, yang mana dalam pendidikan modern orientasi belajar mengajar adalah pada diri siswa (Child Oriented) serta memperhatikan prinsip difereni individual sehingga dalam memberikan materi disesuaikan dengan kemampuan anak didik masing-masing. Dalam hadits disebutkan: “Bicaralah dengan manusia sesuai dengan akalnya. Prinsip ini merupakan salah satu prinsip terpenting dalam pendidikan Islam dan termasuk terbaru di dalam dunia pendidikan modern.”
Metode observasi partisipan yang ditawarkan Hamka untuk mengenalkan Tuhan kepada anak didik sangat sesuai pula dengan pendidikan dewasa ini. Dimana dalam pendidikan dewasa ini anak dalam Proses Belajar Mengajar secara aktif dilibatkan melalui “Mendorong perhatiannya, daya khayalnya dan kegairahannya serta hal-hal sederhana dan alam urutan yang logis, hingga cara ia belajar tampak benar-benar normal.”

D. Evaluasi
Pada tahap akhir pada suatu proses pendidikan adalah evaluasi. Tujuan evaluasi untuk mengetahui sejauhmana proses hasil belajar mengajar itu sampai tujuan (mencapai tujuan) yang telah ditentukan sebagai landasan berpijak aktivitas suatu pendidikan. Dari evaluasi kita juga akan mengetahui pada aspek-aspek mana suatu usaha pendidikan harus dibenahi. Dalam salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan evaluasi belajar mengajar adalah alat penilaian itu sendiri, baik dari segi validitas maupun realibilitas.
Dalam pendidikan murid, evaluasi yang harus dilakukan adalah sejauh mana siswa dapat menghayati, memahami nilai-nilai tauhid Islam, sehingga rasa keimanan yang tertanam dalam jiwa dan memberi impact pada seluruh gerak motor, fisik dan psikis mereka.
Hamka dalam bukunya Pandangan Hidup Muslim, mengatakan bahwa syur (perasaan) sebagai barometer iman seseorang. Perasaan yang muncul sebagai akibat aktivitas melihat fenomena alam yang terhampar luas, misalnya angina yang berhembus, ombak putih yang bergulung-gulung dan sebagainya. Perasaan (syur) muncul serta membelah atau membias dalam sikap, pandangan serta tingkah laku kita untuk menghambakan diri pada Tuhan. itulah tandanya iman itu masih ada dalam jiwa.
Evaluasi dalam pelaksanaan pendidikan tauhid yang dikemukakan Hamka sesuai dengan beberapa kategori ranah efektif yang dikemukakan oleh B.S. Bloom dalam bukunya Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Nana Sudjana meng-ungkapkan lima (5) ranah afektif yaitu: Receiving atau attending (penerimaan), responding (merespon), valuing (penilaian), organisasi dan karakteristik nilai.

E. Peran dan Fungsi Pendidikan Tauhid
Pendidikan dalam pengertian yang luas baik dilaksanakan dalam lembaga pendidikan formal maupun non formal, pada kenyataannya memberikan dampak pada individu dan lingkungan bahwa pendidikan tidaklah lepas dari masyarakat. Begitu juga sebaliknya tidak bisa maju tanpa adanya usaha pendidikan.
Menurut Hasan Langgulung, pendidikan dapat dikatakan sebagai pranata yang menjalankan tiga fungsi sekaligus: Fungsi mempersiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa mendatang, fungsi mentransfer pengetahuan sesuai dengan peranan yang diharapkan dan ketiga fungsi mentransformasikan nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat, sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat serta peradabannya.
Dari dataran ini, maka dapatlah dipahami bahwa pendidikan agama di samping berfungsi sebagai pentransfer of knowledge, juga sebagai transfer of value. Dimana nilai-nilai tersebut bersumber dari nilai-nilai transcendental yang kesemuanya teramu dalam satu inti yaitu tauhid Islam.
Tauhid sebagai salah satu kunci pokok Islam dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada penghambaan kepada Allah SWT. Bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian. Dengan kata lain orang yang telah mengikrarkan “Laa ilaaha illallahu” terlepas dari belenggu apapun. Keesaan Allah SWT sebagai suatu prinsip yang mengarah kepada seluruh aspek kehidupan manusia dan alam semesta, serta sekaligus sebagai pengikat penyatuan segala realitas hidup di dunia. Tauhid sebagai rule of thinking, landasan teori ilmu pengetahuan, prinsip peradaban dunia dan prinsip ibadah, prinsip akhlak sebagai prinsip hidup sosial, ekonomi, politik dan kepemimpinan umat, prinsip estetika dan sebagai prinsip kehidupan umat di dunia. Inilah kehidupan pendidikan tauhid secara makro.
Pendidikan tauhid dari kacamata individu berfungsi mengembangkan potensi keagamaan anak didik sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pendidikan tauhid juga dapat menumbuhkan sikap optimis dan tegas dalam hidup, kebebasan jiwa, kemerdekaan pribadi dan hilangnya rasa takut menghadapi segala kesukaran hidup. Sehingga tidak ada bedanya antara hidup dan mati. Hidup dan mati adalah mencari ridla Allah semata. Tauhid adalah merupakan pembentukan tujuan hidup yang sejati bagi manusia. Sebagaimana Hamka mengatakan bahwa “Tauhid akan memberikan cahaya sinar dalam hati pemeluknya dan memberi cahaya dalam otak, sehingga segala hasil yang timbul dari pada awal dan usahanya mendapat cap tauhid.”
Dari kacamata masyarakat, maka suatu pendidikan tauhid atau sistem pendidikan tauhid yang bersumberkan pada tauhid akan tercipta suatu kondisi masyarakat yang dinamis, progresif dan tercipta dari komunitas pribadi yang utuh serta terjalin dalam ikatan yang harmonis, baik vertikal maupun horizontal dunia dan akhirat.

F. Tanggung Jawab Pendidikan Tauhid
Pendidikan tauhid yang paling awal terjadi adalah dalam lingkungan keluarga. Dari keluargalah anak mulai mengenal serta berimitasi yang pada akhirnya akan terjadi proses integrasi dan internalisasi nilai-nilai yang terefleksi lewat emosi, sikap, tanggapan dan pandangan orang tuanya.
Tingkah laku orang tua di dalam keluarga adalah merupakan bentuk pendidikan pada anaknya, baik yang disengaja maupun tidak. Orang tua adalah menjadi teladan bagi anak-anaknya. Demikian penting dan perlunya pendidikan anak di dalam keluarga, maka dalam hal ini Islam mengajarkan bahwa pendidikan agama harus diajarkan sedini mungkin. Begitu anak dilahirkan di situlah proses pendidikan dimulai yaitu dengan cara mengazani dan iqomah.
Hal ini merupakan suatu isyarat bahwa pendidikan tauhid adalah sangat urgen dan harus diberikan kepada anak sebelum mereka mengenal hal-hal lain, maka sang anak dininabobokkan dengan penuh kasih sayang dari sang bunda. Pendidikan dalam keluarga seperti yang telah penulis jelaskan tadi adalah termasuk dalam pendidikan informal. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidaklah mungkin pendidikan akan dapat terpenuhi hanya dengan pendidikan informal saja. Oleh karena itu muncul institusi-institusi yang menjalankan fungsinya sebagai proses tindak lanjut dari pendidikan keluarga.
Pendidikan pada hakikatnya dapat terjadi dalam tiga, empat satu wadah yang ketiga-tiganya saling berkaitan satu sama lainnya. Pertama, pendidikan formal, kedua pendidikan informal dan ketiga pendidikan nonformal.
Menurut Hamka, tanggung jawab pendidikan tauhid dalam keluarga terletak pada pundak orang tua. “Pendidikan orang tua baru sempurna apabila perasaan tauhid disuburkan dalam diri anak-anak. Singkirkan perasaan syirik yaitu perasaan bahwa tidak akan hidup kalau tidak diberi makan oleh orang lain. dia takut mengatakan yang benar, takut kalau-kalau pecah peruk nasinya dan hilang pekerjaannya.
Pernyataan Hamka tersebut sesuai dengan firman Allah:


Artinya: Dan ingatlah! Ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu dia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman: 13)

Teori fitrah menginformasikan bahwa anak mempunyai bakat (tauhid) dan orang tualah (lingkungan) yang menjadikan Yahudi dan Nasrani. Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Berangkat dari ini, maka pendidikan Islam bertugas untuk menumbuhkan iman. Materi dan kurikulum pendidikan Islam harus berdasarkan pada wawasan materi yang dapat menumbuhkan iman dan bukan memudarkan iman.
Oleh karena itu orang tua harus memberikan serta menciptakan lingkungan yang baik bagi perkembangan dan pertumbuhan fitrah religius anak. Lingkungan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap berhasil atau tidaknya pendidikan agama.
Anak dari kecil hendaklah sudah diperkenalkan kepada Tuhan agar ter-cipta sikap cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana dikatakan Drs. R. I. Suhartin Citrobroto bahwa “Anak-anak kecil harus diajari untuk mencintai, menghormati dan menyembah Tuhan (Allah).” Tentu dengan cara yang sederhana, misalnya: mengajak mereka ke tempat-tempat ibadah, menyaksikan keindahan alam dengan disertai hikmah. Sebaliknya hal tersebut tidak dilakukan, maka dewasanya tidak merasakan pentingnya Tuhan dalam hidupnya.
Adapun secara rinci tanggung jawab pendidikan tauhid adalah teremban oleh:
1. Orang tua
Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama menyentuh anak, sehingga besar peranannya terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dalam kerangka untuk membentuk pribadi yang matang baik lahir maupun batin. Di dalam keluarga, baik disadari maupun tidak, anak telah dilibatkan dalam suatu proses pendidikan, yaitu pendidikan keluarga. Pendidikan semacam ini lebih bersifat kodrat dan alami. Artinya pendidikan keluarga lebih didasarkan pada sentuhan cinta dan kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya. Bukan berpangkal kepada adanya kesadaran serta pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik. Meskipun demikian, pendidikan keluarga harus mendapatkan porsi serta posisi yang tepat dalam proses pendidikan seseorang secara keseluruhan.
Anak dilahirkan ke dunia, selain sebagai karunia, maka ia harus dipelihara dengan baik sesuai dengan konsep yang dikehendaki oleh pemiliknya. Proses pemeliharaan tersebut antara lain melalui pemberian pendidikan yang baik dan benar. Untuk dapat mengembangkan potensi-potensi mereka untuk mencapai hasil yang optimal, yaitu takwa kepada Allah. Takwa di sini mengandung arti pelestarian fitrah ketuhanan anak. Mengingat pentingnya kedudukan tauhid dalam Islam, sebagai basic sekaligus tujuan bagi setiap muslim, maka penanaman tauhid pada anak harus dilakukan sedini mungkin, agar anak tahu siapa Tuhannya, mau mencintai-Nya serta tunduk kepada-Nya.
Usaha penanaman nilai-nilai tauhid Islam dapat melalui usaha antara lain:
a. Mengenalkan Allah pada anak-anak melalui sifat-Nya seperti penyayang, pemurah dan lain-lain.
b. Membawa pemikiran anak pada kepercayaan adanya Allah melalui pengenalan pada bentuk-bentuk ciptaan-Nya, dalam alam sekitar yang dapat dijangkau panca indra.
c. Memberikan contoh yang baik (uswatun hasanah) sebagai refleksi dari ajaran tauhid.
d. Anak-anak sedini mungkin sudah dilatih untuk bisa melakukan ibadah kepada Allah, melakukan perintah-perintah-nya dan meninggalkan larangan-Nya.
e. Pada anak harus ditanamkan rasa cinta pada Allah, Rasul dan kitab- kitab-Nya.

2. Sekolah
Sekolah merupakan institusi khusus yang menyelenggarakan suatu pendidikan. Melalui sekolah anak mengenal dunia yang lebih luas. Kalau dalam lingkungan anak mengenal ayah, ibu, adik dan kakak serta familinya, maka dalam sekolah kini anak mengenal sosok guru mereka, bermain bersama teman-teman dari berbagai kelompok masyarakat. Di sini suasana pendidikan tetap diciptakan dengan sengaja. Dengan demikian pendidikan lebih bersifat khusus dan terencana.
Sekolah lebih dikatakan sebagai lingkungan pendidikan kedua bagi anak, setelah pendidikan keluarga. Sekolah sebagai institusi sosial yang menjalankan ungsinya sebagai lembaga yang serahi pelimpahan tanggung jawab anak. Sebab tidaklah mungkin setiap orang tua dapat memberikan pendidikan pada anak secara optimal dan menyeluruh hanya dengan mengandalkan pendidikan keluarga. Bagaimanapun kemampuan manusia (orang tua) masih tetap terbatas. Mungkin mereka memiliki pengetahuan serta ketrampilan yang cukup untuk mendidik anaknya, tetapi mereka tidak banyak memiliki waktu. Untuk itulah para orang tua mempercayakan pelimpahan sekaligus tugas dan tanggung jawabnya kepada pihak sekolah. Dan termasuk dalam hal ini adalah pelimpahan tanggung jawab pendidikan tauhid.
Atas dasar itulah, maka sekolah dengan seluruh perangkatnya harus dapat menciptakan suasana yang mendorong terbentuknya nuansa ktauhidan pada diri anak didik. Melalui pendidikan tauhid di sekolah anak diharapkan dapat lebih mengenal dan memahami konsep-konsep keimanan secara teoritis, serta mampu menerapkannya secara praktis dalam kehidupan nyata.
Guru sebagai orang yang terlibat langsung dalam praktik pendidikan sekolah, selain harus dapat memiliki abilitya yang cukup mapan dalam pengetahuan dan ketrampilan atas apa yang ia ajarkan. Jika seorang guru mengajarkan keimanan, menyruh anak untuk menjalankan salat dan lain-lain, akan tetapi ia tidak pernah melakukan salat maka jangan pernah berharap anak didik mau untuk melaksanakan salat. Kita sudah sepakat bahwa ilmu sarat dengan nilai. Apapun bentuk ilmu tersebut, baik imu pengetahuan eksak maupun ilmu-ilmu normative, keduanya baik dalam penyampaian maupun penggunaannya harus selaras dengan konsep-konsep nilai, baik nilai-nilai ilahiyyah maupun nilai insaniyyah. Atas dasar itulah maka setiap guru atau pendidik, materi apapun yang ia ajarkan, tetap memiliki tanggung jawab dalam penanaman nilai-nilai kemanusiaan pada anak didik.
Setiap guru harus dapat melakukan pendidikan tauhid pada anak melalui usaha-usaha antara lain:
a. Menumbuhkembangkan serta memupuk potensi dasar tauhid Islam dalam dada anak didik, pembiasaan maupun pembentukan sikap-sikap dan perilaku yang baik dalam konteks tauhid Islam.
b. Menciptakan suasana katauhidan di dalam lingkungan sekolah.
c. Mendidik anak agar cinta dalam beribadah kepada Allah.

3. Masyarakat
Manusia tidak akan bisa lepas dari lingkungannya. Ia senantiasa membutuhkan pertolongan orang lain. atas dasar saling ketergantungan dan saling membutuhkan tersebut, maka menimbulkan kecenderungan berkelom-pok dan bersatu. Dalam kehidupan berkelompok tersebut, mereka bisa saling take and give dalam rangka mempertahankan kehidupan (survive). Kumpulan kelompok individu yang diikat oleh suatu adat kebudayaan, bangsa (nation), negara dan keyakinan agama itulah yang disebut masyarakat.
Setiap masyarakat memiliki aturan-aturan, sistem nilai, ideology dan cita-cita serta sistem pemerintahan atau kekuasaan tertentu. Mereka berusaha untuk melestarikannya dalam rangka kelangsungan masyarakat tersebut agar tetap eksis di tengah kehidupan masyarakat lain. salah satu pelestarian busaya, sistem nilai tersebut adalah melalui pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya adalah pemberian muatan-muatan pada anak didik untuk dapat melestarikan sebagian budaya masyarakat dan sebagian lagi untuk dikembangkan demi kemajuan masyarakat.
Masyarakat langsung maupun tidak langsung, ikut serta memegang tanggung jawab pendidikan bagi anggota masyarakatnya, termasuk dalam hal ini adalah tanggung jawab pendidikan tauhid. Masyarakat terutama setiap pemimpin muslim tentu menghendaki masyarakatnya menjadi seorang muslim yang baik, yang taat beribadah dalam segala aspeknya, sebagai refleksi dari ajaran tauhid. Dengan pendidikan tauhid dalam keluarga, sekolah dan ditambah control masyarakat dalam pelaksanaan tauhid Islam, maka akan tercipta tauhid ummah. Dalam hal ini, masyarakat secara keseluruhan harus dapat melaksanakan misinya, yaitu: amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya Islam dan masyarakat tersebut. Bentuk-bentuk pelaksanaan tauhid dalam masyarakat bisa dilaksanakan melalui media massa, lewat pengajian-pengajian baik di masjid-masjid maupun di rumah-rumah, forum pengajian-pengajian atau diskusi, bahkan dapat memanfaatkan teknologi internet yang paling canggih sekalipun.

G. Penutup
Berdasarkan pada pembahasan secara keseluruhan sebagaimana dipaparkan di muka, maka dapat diturunkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Tauhid Hamka bersumber pada ajaran Islam, yaitu al-Quran dan al-Hadits. Tauhid beliau lebih menekankan pada tauhid praktis. Dimana tauhid bukan hanya merupakan kepercayaan pada adanya Tuhan satu secara an sich saja, akan tetapi tauhid merupakan landasan dan tujuan bagi sikap aktivitas ibadah seorang muslim. Dengan percaya kepada rukun iman secara baik dan benar aplikasinya dalam kehidupan nyata, maka terbentuklah kesimbangan jasmani dan rohani yang mempunyai sikap optimis dan kreatif dalam memobilitas hidupnya.
2. Tauhid Hamka senada dengan tauhid dalam aliran Asy’ariyyah, baik dari segi pengertian, yujuan maupun materinya. Dari segi pengertian, tauhid menurut Hamka, kepercayaan yang dimulai dengan tasydiq kemudian diteruskan dengan amal dlahir. Konsep iman ini sesuai dengan konsep iman Asy’ariyyah, hanya saja Hamka lebih menekankan pada perbuatan-perbuatan manusia sebagai refleksi kepercayaan (iman) itu sendiri. Hal ini lebih mendekatkan Hamka pada golongan rasional, khususnya Mu’tazilah, dimana golongan Mu’tazilah mengatakan bahwa iman adalah amal yang timbul sebagai akibat mengetahui Tuhan. dari segi isi, maka tauhid Hamka relevan dengan golongan Asy’ariyyah atau salaf. Konsep ini menadi basic bagi lahirnya konsep tentang keadilan Tuhan, perbuatan Tuhan dan kepercayaan qadla dan qadar Tuhan. hal ini berbeda dengan golongan rasional Mu’tazilah dimana Mu’tazilah menentang adanya qadla dan qadar Tuhan. dari segi pendekatan metodologi-nya, maka Hamka berbeda dengan golongan rasionalis. Beliau dalam menguraikan tentang pendidikan tauhid tidak menggunakan pendekatan berfikir filsafati, melainkan beliau menggunakan ilmu kalam sebagai salah satu pendekatannya.
3. Dari sudut metode, pendidikan tauhid Hamka relevan dengan pendidikan modern, dimana Hamka dalam menyampaikan materi-materi pendidikan tauhid senantiasa membawa pemikiran manusia pada pemahaman adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta, melalui realita yang terbentang luas di jagad raya ini akan dapat mengembangkan kreatifitas daya pikir manusia secara optimal, serta dapat menumbuhkan keyakinan yang muncul atas dasar pemahaman yang matang, sehingga tidak terjadi adanya taklid buta. Evaluasi proses pendidikan yang ditawarkan Hamka menempatkan syuur sebagai kata kunci bagi ada atau tidak adanya iman seseorang serta nyala atau padamnya pancaran/biasan sebagai refleksi dari jaran tauhid bagi seluruh produk aktivitas muslim. Proses evaluasi seperti ini memungkinkan tiap-tiap individu untuk senantiasa aktif mengadakan introspeksi dan mengevaluasi diri terhadap seluruh perbuatan mereka dalam segala suasana tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Proses evaluasi semacam ini lebih bersifat praktis dan fleksibel, tanpa meninggalkan validitas dan realibilitas alat pengukuran evaluasi itu sendiri.
4. Dengan adanya pengertian, tujuan serta materi pendidikan tauhid Hamka pada bab-bab yang lalu, maka dapat diketahui bahwa pendidikan tauhid Hamka tidak bertentangan dengan pendidikan modern dewasa ini, bahkan menunjang tercapainya tujuan pendidikan modern. Dalam konteks Indonesia, maka sangat mendukung tercapainya pendidikan nasional.

0 komentar:

Posting Komentar

TINGGALKAN PESAN ANDA